Wacana penurunan pajak penghasilan korporasi (corporate tax cut) menjadi pembicaraan hangat di kalangan pengusaha, otoritas fiskal, dan media nasional akhir-akhir ini. Berbagai media menyoroti tren dunia yang sedang menuju rezim tarif PPh korporasi rendah, seakan sedang berlomba menarik dana dari luar negeri sebagai upaya mendorong pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Berdasarkan laporan terbaru Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) bertajuk Tax Policy Reforms 2018, rata-rata tarif PPh korporasi di dunia saat ini sebesar 23,9 persen, turun signifikan dibanding tahun 2000 di angka 32,5 persen.
Sementara itu, tarif PPh korporasi di Indonesia berada di angka 25 persen sejak 2010, dari yang sebelumnya berada di angka 28 persen dan 30 persen (dua kali penurunan). Terakhir, pada Desember 2017 melalui Tax Cuts and Jobs Act, Amerika Serikat memotong tarif PPh Korporasi dari 35 persen menjadi 21 persen. Tarif PPh Korporasi di Indonesia tergolong moderat, baik di dunia maupun di kawasan regional. Di ASEAN, tarif PPh Korporasi Indonesia termasuk moderat di angka 25 persen, lebih rendah dibanding Filipina (30%) dan sama dengan Myanmar (25%). Namun, tarif di Indonesia lebih tinggi dibanding Malaysia (24%), Thailand (20%), Vietnam (20%), dan Singapura (17%).
Lalu, benarkah penurunan tarif PPh Korporasi serta-merta dapat menarik dana investasi dari luar negeri yang kemudian mampu mendorong pertumbuhan ekonomi dan pada akhirnya meningkatkan kinerja perpajakan? Berkaca dari pengalaman negara lain, rasanya tidak sesederhana itu. Tarif PPh Korporasi Rusia pada 2001 mencapai 43 persen, turun bertahap hingga mencapai 20 persen saat ini. Hasilnya, rasio pajak Rusia turun dari semula 16 persen menjadi 13 persen, berlanjut hingga menyentuh 10,2 persen pada 2017. Thailand pada tahun 2012, menurunkan tarif PPh Korporasi dari 30 persen menjadi 23 persen, tetapi rasio pajak turun dari 17,6 persen menjadi 16,5 persen, berlanjut hingga 14,8 persen pada 2017. Rasio pajak (dalam arti luas) Indonesia pada 2018 berkisar di angka 11,6 persen, masih sangat rendah dibandingkan negara lain.
Daya Tarik Investasi
Persaingan global saat ini sedang menuju upaya menarik sebesar-besarnya investasi luar negeri mengingat faktor produksi di dalam negeri memiliki keterbatasan kapasitasnya. Di samping itu, berbagai negara menyadari begitu pentingnya investasi langsung dalam membuka lapangan pekerjaan, menyediakan bahan baku industri, dan menggenjot ekspor barang hasil industri. Lantas, apakah Indonesia mesti turut menempuh pendekatan yang sama dengan tren dunia tersebut? Apakah penurunan tarif PPh Korporasi benar-benar akan menjadi daya tarik bagi investasi langsung?
Pemerintah sebenarnya telah berupaya sekeras mungkin untuk menarik investasi langsung sebesar-besarnya. Buktinya, enam belas paket kebijakan ekonomi telah diluncurkan sejak 2014, mulai dari deregulasi, debirokratisasi, perbaikan sistem logistik nasional, pengelolaan Kawasan Ekonomi Kreatif, serta penegakan hukum dan kepastian usaha hingga perluasan fasilitas Tax Holiday, relaksasi Daftar Negatif Investasi (DNI), dan insentif bagi dana hasil ekspor.
Realisasi investasi pada 2018 tetap tumbuh meskipun melambat menjadi 4 persen, yaitu sebesar Rp721,3 Triliun. Sejak 2014, rata-rata pertumbuhan tahunan mencapai 11,71 persen. Namun, di 2018, realisasi Penanaman Modal Asing (PMA) justru mengalami penurunan dari yang sebelumnya Rp430,5 Triliun menjadi Rp392,7 Triliun. Alhasil, porsi PMA yang sejak 2014 selalu di atas 60 persen dari total investasi turun menjadi hanya 54 persen di tahun 2018. Lantas, apakah pemotongan PPh Korporasi akan menjadi solusi yang ideal?
Baca Juga: Penting! Jangan Salah Gunakan NPWP Usahawan
Bukan Semata Soal Pajak
Bank Dunia dalam Global Investment Competitiveness Report 2017-2018 bertajuk Foreign Investor Perspectives and Policy Implications mencatat terdapat sepuluh faktor yang menjadi pertimbangan utama dalam keputusan investasi luar negeri. Lima faktor utama adalah keamanan dan stabilitas politik di suatu negara (tingkat keyakinan 87%), diikuti kepastian hukum (86%), potensi pangsa pasar domestik (80%), stabilitas makro dan kurs mata uang (78%), serta tenaga kerja yang berdaya saing (73%). Sementara itu, pertimbangan tarif pajak yang rendah (58%) ada di posisi ketujuh, masih di bawah ketersediaan infrastruktur fisik yang mumpuni (71%). Hasil survei ini mengindikasikan bahwa tarif pajak yang rendah bukan faktor yang paling mempengaruhi suatu keputusan investasi. Jika demikian, mengapa harus mengorbankan penerimaan negara yang belum tentu sepadan dengan hasilnya?
Merujuk pada laporan Bank Dunia di atas, tampaknya beberapa faktor telah terpenuhi di dalam negeri, meskipun yang lainnya masih butuh perbaikan. Stabilitas makro dan potensi pangsa pasar domestik kita sangat besar sehingga telah lama menjadi daya tarik bagi investor. Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia terus bertumbuh dari tahun ke tahun dengan rata-rata pertumbuhan 5,17%, dihitung sejak 1980 s.d 2017. Menurut data CNBC International, hanya ada tujuh negara di dunia yang PDB per kapitanya mampu tumbuh di atas 3,5% dalam kurun waktu 50 tahun, yaitu China (7,3%), Republik Korea (6,2%), Singapura (5,2%), Thailand (4,3%), Hong Kong (4%), Malaysia (3,8%), dan Indonesia (3,6%). Statistik ini menggambarkan bahwa Indonesia memiliki ceruk pasar yang sangat potensial dan menjadi daya tarik bagi investasi luar negeri.
Namun, beberapa yang lain masih butuh perbaikan seperti daya saing pasar tenaga kerja, kelayakan infrastruktur, ketersediaan bahan baku dan barang modal, deregulasi dan debirokratisasi, perbaikan sistem logistik nasional, dan iklim investasi yang kondusif. Faktanya, faktor-faktor ini juga sedang dibenahi, hanya saja hasilnya tidak mungkin instan. Perbaikan struktural membutuhkan waktu dan implementasi yang efektif. Tentu implementasi ini perlu dievaluasi secara berkala. Upaya-upaya ini juga telah dituangkan menjadi payung hukum, mulai dari Peraturan Presiden (Perpres) nomor 91 tahun 2017 tentang Percepatan Pelaksanaan Berusaha, Perpres nomor 58 tahun 2017 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, hingga Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 35 tahun 2018 tentang Pemberian Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan (tax holiday).
Baca Juga: Fasilitas PPN atas Penyerahan Jasa ke Kawasan Bebas Dipertegas
Amunisi Terakhir
Memaksakan penurunan tarif PPh Korporasi yang belum tentu berdampak positif bagi ekonomi secara keseluruhan justru akan mendisrupsi ekonomi negara itu sendiri. Dalam jangka pendek, penerimaan pajak akan tergerus, yang implikasinya adalah rasio utang akan beranjak dari level aman saat ini (30 persen dari PDB). Turunnya penerimaan pajak tidak hanya menggerus rasio pajak dan meningkatkan rasio utang, tetapi juga berpotensi menyebabkan gejolak pada pasar keuangan, khususnya pada pasar surat utang negara.
Dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata di atas 5 persen, ceruk pasar yang besar, inflasi yang terkendali, kurs mata uang yang relatif stabil, dan tingkat suku bunga yang tinggi, rasanya daya tarik ekonomi Indonesia lebih dari cukup sehingga pemotongan tarif PPh korporasi tidak harus dipaksakan. Kita hanya perlu mengevaluasi implementasi kebijakan ekonomi yang telah mencakup berbagai permasalahan struktural ekonomi. Lebih jauh, para pelaku usaha kerap mengeluhkan soal aturan hukum dan kebijakan yang tumpang tindih antara pemerintah pusat, lembaga, dan pemerintah daerah sehingga memperlambat proses perizinan usaha.
Pembenahan struktur ekonomi jauh lebih efektif untuk mendorong pertumbuhan yang berkelanjutan, selaras dengan konsep Sustainable Development Goals (SDGs). Pihak berkepentingan, terutama kalangan pengusaha, perlu melihat ekses yang akan ditimbulkan dari penurunan tarif PPh Korporasi, terutama semakin rendahnya rasio pajak dan meningkatnya rasio utang pemerintah. Ditambah lagi, saat ini dunia tengah dihadapkan pada ketidakpastian global, mulai dari perang dagang, pengetatan kebijakan moneter, proteksionisme, hingga perebutan dana investasi luar negeri antarnegara. Untuk itu, mari kita bersama-sama mendukung pemerintah untuk mengevaluasi impelementasi berbagai kebijakan ekonomi yang pasti tidak mungkin berhasil dalam waktu singkat. Pembenahan struktur ekonomi telah tercakup dalam kebijakan ekonomi saat ini sehingga pemaksaan terhadap pemotongan PPh Korporasi bukanlah suatu hal yang mendesak.