Sebagai seorang profesional yang berperan penting dalam menjaga kesehatan masyarakat, dokter juga memiliki tanggung jawab dalam memenuhi kewajiban perpajakan. Seperti profesi lainnya, dokter menerima penghasilan dari berbagai sumber yang menjadi objek pajak penghasilan (PPh). Penghasilan tersebut bisa berasal dari pekerjaan tetap di rumah sakit, praktik mandiri, atau bahkan dari luar negeri. Artikel ini akan membahas objek pajak penghasilan profesi dokter serta berbagai aspek perpajakan yang terkait dengan profesi ini, termasuk tarif PPh dan penghasilan yang tidak dikenakan pajak.
Objek Pajak Penghasilan Profesi Dokter
Sebagai wajib pajak yang memiliki penghasilan di atas batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yaitu Rp54 juta per tahun, dokter wajib melaporkan dan membayar pajak penghasilan. Di samping itu, objek pajak dokter meliputi beberapa sumber penghasilan, tergantung pada status pekerjaan mereka, baik sebagai pegawai tetap maupun pelaku usaha mandiri.
1. Dokter Sebagai Pegawai Tetap
Dokter yang bekerja sebagai pegawai tetap di rumah sakit atau klinik memperoleh penghasilan yang diatur dalam kontrak kerja. Selain itu, pajak penghasilannya dihitung berdasarkan bukti pemotongan PPh Pasal 21 yang diberikan oleh pemberi kerja. Untuk menghitung pajak, mereka melakukan pengurangan Penghasilan Kena Pajak (PKP) dari penghasilan bruto setelah dikurangi biaya jabatan dan kontribusi untuk program jaminan hari tua (JHT).
2. Dokter yang Melakukan Praktik Mandiri
Selain bekerja di rumah sakit, banyak dokter juga membuka praktik mandiri. Dalam hal ini, dokter memiliki dua opsi untuk perhitungan pajak, yaitu menyelenggarakan pembukuan atau menggunakan norma penghitungan penghasilan neto.
- Menyelenggarakan Pembukuan
Perhitungan penghasilan neto dilakukan dengan mengurangi penghasilan bruto dari biaya untuk memperoleh, menagih, dan memelihara penghasilan.
Penghasilan bruto mencakup seluruh pendapatan dokter terkait kegiatan usaha atau pekerjaan bebas. Selanjutnya, biaya yang dikenal sebagai 3M meliputi pengeluaran untuk mendapatkan dan memelihara penghasilan yang tidak dikenai PPh Final, seperti biaya pembelian bahan, upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan.
Pengusaha dapat mengakui kerugian dari penjualan atau pengalihan harta yang digunakan dalam kegiatan usaha sebagai pengurang penghasilan bruto. Selain itu, mereka dapat mengompensasikan kerugian yang terjadi dalam satu tahun pajak dengan penghasilan pada tahun pajak berikutnya hingga lima tahun berturut-turut.
- Menggunakan Norma
Perhitungan penghasilan neto dapat dilakukan dengan rumus: penghasilan bruto x norma.
Dokter yang memiliki peredaran bruto di bawah Rp 4,8 miliar dalam setahun diperbolehkan menggunakan norma untuk menghitung penghasilan neto. Selain itu, persentase norma untuk dokter di 10 ibu kota provinsi, yaitu Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Denpasar, Manado, Makassar, dan Pontianak, ditetapkan sebesar 50 persen, begitu juga untuk provinsi dan daerah lainnya.
Dokter yang memilih norma harus melaporkannya kepada Direktur Jenderal Pajak dalam tiga bulan pertama tahun pajak. Pemberitahuan yang disampaikan dalam jangka waktu tersebut dianggap disetujui, kecuali jika hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa Wajib Pajak tidak memenuhi syarat untuk menggunakan norma, sesuai Pasal 2 ayat (2) PER-17/PJ/2015.
3. Penghasilan di Luar Profesi Dokter
Dokter yang memiliki usaha lain, seperti apotek atau bisnis alat kesehatan, juga wajib melaporkan penghasilan tersebut dalam SPT. Jika omzet usaha tidak melebihi Rp4,8 miliar per tahun, dokter dapat membayar PPh final dengan tarif 0,5%. Jika omzet lebih dari Rp4,8 miliar, tarif pajak yang berlaku adalah sesuai Pasal 17 Undang-Undang PPh.
4. Penghasilan yang Dikenakan PPh Final
Beberapa jenis penghasilan dokter dikenakan PPh final, seperti bunga deposito, sewa tanah, dan dividen. Pajak atas penghasilan ini tidak perlu dihitung ulang dalam SPT karena sudah dikenakan pajak final.
5. Penghasilan dari Luar Negeri
Penghasilan dari luar negeri, seperti honor dokter, dividen, royalti, dan bunga, tidak mencakup kerugian luar negeri. Dengan demikian, pendapatan ini dihitung sebagai penambah dalam PPh sesuai tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU Nomor 36 Tahun 2008. Selanjutnya, PPh yang dibayar di luar negeri dapat dikreditkan terhadap PPh terutang di Indonesia, dengan batas kredit pajak tidak melebihi pajak yang dibayar di luar negeri. Kredit pajak luar negeri (KPLN) dihitung sebagai yang lebih kecil antara PPh yang dipotong di luar negeri atau KPLN maksimum, yaitu (penghasilan luar negeri : penghasilan kena pajak) x PPh terutang.
6. Penghasilan yang Bukan Objek Pajak
Dokter juga dapat menerima penghasilan yang tidak dikenakan pajak, seperti hibah, sumbangan, dan bagian laba dari persekutuan komanditer. Penghasilan ini tidak dihitung dalam PPh terutang sesuai tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU Nomor 36 tahun 2008.
Tarif Pajak
Dalam pemungutan PPh untuk tenaga medis, terdapat tarif khusus PPh 21 bagi dokter. Pertama, merujuk pada tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh, tarif ini diklasifikasikan berdasarkan lapisan Penghasilan Kena Pajak (PKP), antara lain:
- Penghasilan hingga Rp60 juta: Tarif 5%
- Penghasilan Rp60 juta – Rp250 juta: Tarif 15%
- Penghasilan Rp250 juta – Rp500 juta: Tarif 25%
- Penghasilan Rp500 juta – Rp5 miliar: Tarif 30%
- Penghasilan di atas Rp5 miliar: Tarif 35%
Tarif tersebut akan dikalikan dengan Dasar Pengenaan dan Pemotongan (DPP) PPh 21 yang sudah dikecualikan dari Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Selain itu, DPP ditetapkan sebesar 50% dari total bruto.
Selain itu, untuk penghasilan yang berasal dari imbalan atau honorarium yang dibebankan pada APBN atau APBD, tarif pajak bersifat final berdasarkan PP Nomor 80 Tahun 2010 . Tarif ini bervariasi mulai dari 0% hingga 15%, tergantung pada golongan dan jabatan penerima.
Kesimpulan
Sebagai profesi yang memiliki penghasilan dari berbagai sumber, dokter wajib memahami kewajiban perpajakan yang berlaku. Oleh karena itu, memahami objek pajak, perhitungan penghasilan neto, serta tarif pajak yang sesuai dapat membantu dokter memenuhi kewajiban pajak dengan benar dan tepat waktu. Untuk memastikan kepatuhan pajak yang optimal, dokter dapat berkonsultasi dengan konsultan pajak profesional.
Ingin memastikan kepatuhan pajak Anda berjalan lancar? Oleh karena itu, hubungi Kantor Konsultan Pajak Ashadi dan Rekan untuk mendapatkan konsultasi pajak yang sesuai dengan kebutuhan profesi Anda!
KPP Ashadi dan Rekan
KKP ASHADI DAN REKAN merupakan bagian dari firma Ashadi dan Rekan yang berdiri di tahun 2015 dan telah mendapatkan izin dari Kementerian Keuangan KMK No. 84/KM.1/PPPK/2015, Tanggal 17 November 2015. Dalam menjalankan usahanya perusahaan memberikan pelayanan jasa konsultasi pada bidang konsultasi perpajakan, transfer pricing documentation, litigasi pajak dan training.
Hubungi Kami :
Hotline : +6221 22085079
Call/WA : +62 818 0808 0605
+62 812 1009 8813
Email : info@kkpashadirekan.com