Dalam sistem perpajakan, terdapat berbagai jenis pajak yang dibebankan kepada masyarakat, salah satunya adalah pajak subjektif dan pajak objektif. Memahami perbedaan kedua jenis pajak ini sangat penting bagi setiap wajib pajak, baik individu maupun badan usaha, agar dapat memenuhi kewajiban pajaknya dengan benar sesuai aturan yang berlaku. Artikel ini akan menjelaskan secara mendalam mengenai pajak subjektif dan pajak objektif, perbedaan utama di antara keduanya, serta contohnya di Indonesia.

Apa Itu Pajak Subjektif?

Karakteristik pribadi wajib pajak, seperti status tempat tinggal atau bentuk usaha, menentukan dasar pengenaan pajak subjektif. Setiap warga negara atau badan usaha yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan terdaftar sebagai wajib pajak di Indonesia wajib membayar pajak ini.

Dalam pajak subjektif, keadaan pribadi wajib pajak menentukan besarnya pajak yang terutang. Menurut Pasal 2A Undang-Undang Pajak Penghasilan, terdapat beberapa kriteria wajib pajak subjektif, di antaranya:

  1. Subjek Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri
  • Pajak berlaku sejak seseorang lahir, berada, atau menetap di Indonesia dan berakhir saat mereka meninggal atau meninggalkan Indonesia untuk selamanya.
  1. Subjek Pajak Badan Dalam Negeri
  • Pajak berlaku sejak badan usaha didirikan atau berlokasi di Indonesia dan berakhir saat badan tersebut dibubarkan atau tidak lagi berdomisili di Indonesia.
  1. Subjek Pajak Luar Negeri dalam Bentuk Badan Usaha Tetap (BUT)
  • Pajak berlaku sejak badan usaha mulai beroperasi di Indonesia melalui BUT, dan berakhir saat kegiatan tersebut berhenti.
  1. Subjek Pajak Luar Negeri Lainnya
  • Pajak berlaku ketika wajib pajak memperoleh penghasilan dari Indonesia dan berakhir ketika wajib pajak tidak lagi menerima penghasilan tersebut.
  1. Warisan yang Belum Terbagi
  • Pajak berlaku sejak warisan mulai terbagi dan berakhir saat seluruh warisan selesai dibagikan.

Contoh Pajak Subjektif

Jenis pajak subjektif di Indonesia mencakup beberapa kategori Pajak Penghasilan (PPh), di antaranya:

  1. PPh Pasal 21 – Pajak ini dikenakan atas gaji, upah, dan pendapatan lainnya yang diterima wajib pajak individu. Tarifnya bisa berbeda tergantung kepemilikan NPWP.
  2. PPh Pasal 15 – Dikenakan pada individu atau badan usaha tertentu dalam industri pelayaran, penerbangan internasional, dan asuransi asing.
  3. PPh Pasal 22 – Pajak atas aktivitas impor atau pembelian barang mewah.
  4. PPh Pasal 23 – Dikenakan pada penghasilan dari sewa, dividen, bunga, dan penggunaan aset seperti tanah atau bangunan.

Apa Itu Pajak Objektif?

Pajak objektif adalah jenis pajak yang pengenaannya didasarkan pada karakteristik objek pajak, bukan pada kondisi subjek. Pajak ini diberlakukan berdasarkan sifat atau jenis barang, layanan, atau kejadian tertentu yang menimbulkan kewajiban pajak. Dalam hal ini, tidak ada ketentuan apakah wajib pajak bertempat tinggal di Indonesia atau tidak.

Pajak objektif mengikuti aturan yang menetapkan objek pajak tertentu dan mengenakan tarif sesuai dengan ketentuan undang-undang berdasarkan kriteria objeknya. Ciri-ciri pajak objektif meliputi:

  1. Dikenakan pada orang atau badan yang melakukan transaksi atas barang yang terkena pajak.
  2. Berhubungan dengan pemindahan harta dari dalam ke luar negeri.
  3. Berhubungan dengan kepemilikan barang mewah atau aset di luar negeri.

Contoh Pajak Objektif

Contoh pajak objektif di Indonesia meliputi:

  1. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) – Dikenakan atas barang atau jasa yang ditransaksikan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP).
  2. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) – Pajak ini dikenakan atas kepemilikan atau pemanfaatan tanah atau bangunan dengan nilai ekonomis tertentu.
  3. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) – Dikenakan atas transaksi barang mewah dengan nilai jual tinggi.

Baca lainnya: Mengapa Setiap Bisnis Membutuhkan Pendampingan Konsultan Pajak?

Prosedur Pelaporan dan Pembayaran Pajak Subjektif dan Objektif

Pajak subjektif dan objektif memiliki perbedaan dalam prosedur pelaporan dan pembayarannya. Perusahaan memotong dan melaporkan PPh Pasal 21 atas gaji karyawan setiap bulan, sementara pekerja mandiri menghitung dan membayar pajaknya sendiri. Pihak yang melakukan pembayaran memotong dan melaporkan pajak subjektif lainnya, seperti PPh Pasal 15 atau 22, setiap masa pajak.

Wajib pajak yang terlibat langsung dalam transaksi atau kepemilikan aset membayar pajak objektif, seperti PPN dan PBB. PKP yang mengelola PPN wajib melaporkan pajak ini secara periodik sesuai aturan, sementara wajib pajak membayar PBB sesuai jadwal yang ditentukan oleh pemerintah setempat.

Kesimpulan

Pemahaman tentang pajak subjektif dan objektif membantu wajib pajak memenuhi kewajibannya dengan benar dan menghindari sanksi. Pajak subjektif berfokus pada karakteristik pribadi wajib pajak, sedangkan pajak objektif berdasarkan objek atau transaksi tertentu. Dengan memahami jenis dan cara pelaporannya, wajib pajak dapat menjalankan kepatuhan pajak secara lebih efektif.

Ingin konsultasi lebih lanjut tentang pemenuhan kewajiban pajak Anda? Hubungi Kantor Konsultan Pajak Ashadi dan Rekan untuk bantuan profesional dalam pengelolaan pajak bisnis Anda.

KPP Ashadi dan Rekan

KKP ASHADI DAN REKAN merupakan bagian dari firma Ashadi dan Rekan yang berdiri di tahun 2015 dan telah mendapatkan izin dari Kementerian Keuangan KMK No. 84/KM.1/PPPK/2015, Tanggal 17 November 2015. Dalam menjalankan usahanya perusahaan memberikan pelayanan jasa konsultasi pada bidang konsultasi perpajakan, transfer pricing documentation, litigasi pajak dan training.

Hubungi Kami :

Hotline : +6221 22085079

Call/WA : +62 818 0808 0605

               +62 812 1009 8813

Email : info@kkpashadirekan.com